Oleh Hilma Oktaviana Fajrin
A. Situasi dan Tantangan
Sebagai guru mata pelajaran bahasa Jawa, saya menyadari adanya jarak antara murid dan materi Upacara Adat. Bagi mereka, materi ini seringkali terasa kuno, sekadar hafalan, dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Saya khawatir, jika terus diajarkan secara konvensional, warisan budaya ini tidak akan dikenal lagi oleh generasi saat ini.
Dalam proses saya mengikuti Pelatihan Pembelajaran Mendalam selama tiga bulan (Agustus hingga Oktober 2025), saya termotivasi untuk melakukan transformasi. Tujuannya adalah menjadikan materi Upacara Adat sebagai pengalaman belajar yang Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan. Tantangannya adalah bagaimana merancang metode yang memungkinkan siswa menyelami filosofi adat, bukan sekadar kulit luarnya.
B. Integrasi Discovery Learning Jigsaw dan Prinsip Pembelajaran Mendalam
Saya memutuskan untuk menerapkan model Discovery Learning dengan metode kolaboratif Jigsaw. Materi Upacara Adat dipecah menjadi empat kelompok ahli yang diambil dari wilayah kabupaten Sleman dan Kraton Yogyakarta yaitu Upacara Labuhan Merapi, Upacara Saparan Ki Ageng Wanalela, Upacara Saparan Bekakak, dan Grebeg Mulud.
Berikut adalah implementasi kunci yang saya fokuskan untuk mengintegrasikan tiga prinsip Pembelajaran Mendalam:
1. Prinsip Berkesadaran
Prinsip berkesadaran yang ada pada pembelajaran ini adalah mulai dari awal pembelajaran, yakni murid memahami tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dengan begitu, mereka akan fokus dan dapat menentukan arah dalam belajar.
Di awal sesi Jigsaw, saya tidak langsung memberikan fakta, melainkan Pertanyaan Pemantik yaitu menampilkan beberapa gambar benda-benda ritual (tumpeng, ubarampe, jajanan pasar) dan bertanya, “Ana sing ngerti iki barang-barang apa lan digunakake kanggo apa?” dan “Kenang apa masyarakat gelem ngentekake wektu, ragat, lan energi kanggo upacara adat kasebut? Apa sing ilang nalika upacara adat iki ilang?”
Dengan pembagian Kelompok Ahli di awal, akan mendorong murid untuk mencari alasan dan nilai luhur di balik setiap langkah upacara, bukan sekadar urutan. Mereka menyadari bahwa upacara adat adalah manifestasi dari keyakinan terdalam dan tata nilai masyarakat. Rasa ingin tahu mereka berubah dari sekadar ‘apa’ menjadi ‘mengapa’ dan ‘untuk apa’. Selain itu, dengan label ahli murid akan merasa bangga, lebih bertanggung jawab, dan semakin bersemangat untuk mencari tahu materi yang diberikan.
2. Prinsip Bermakna
Di awal pembelajaran, saya menyampaikan manfaat mempelajari materi upacara adat dikaitkan dengan kehidupan nyata. Ini merupkan penerapan prinsip bermakna. Selain itu, pembagian kelompok ahli selain dari hasil asesmen kognitif juga berdasarkan lokasi tempat tinggal. Ini mendorong agar apa yang murid pelajari relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Selanjutnya, setiap kelompok ahli akan menemukan dan menganalisis informasi dari sumber yang disediakan (teks, video) dan juga diperbolehkan menambah dari berbagai sumber yang lain. Mereka berfokus pada Nama upacara dan lokasi, Prosesi (tahapan), Uba rampe/perlengkapan yang digunakan, dan Nilai luhur yang terkandung dalam setiap upacara adat.
Setelah dari kelompok ahli, murid akan kembali ke kelompok asal. Secara bergantian, setiap “ahli” memaparkan hasil temuannya kepada anggota kelompoknya. Setiap kelompok merumuskan kesimpulan tentang makna dan nilai budaya yang mereka temukan.
Dampaknya, murid yang mempelajari upacara adat khususnya yang dekat dengan tempat tinggalnya, dapat memahami dan menguraikan makna dan nilai budaya yang tentu juga meningkatkan wujud syukur dan tanggung jawab terhadap lingkungannya. Sebab, dalam upacara adat Jawa murid menemukan bahwa bukan sekedar nilai budaya saja, tetapi juga hubungan yang harus dijaga antara manusia, alam, dan Tuhan. Mereka merasakan relevansi materi dan menyadari peran mereka sebagai penjaga warisan budaya, serta kesadaran dalam menjaga hubungan baik dengan alam dan Tuhan.
3. Prinsip Menggembirakan
Metode Jigsaw secara alami menumbuhkan kegembiraan karena setiap murid adalah “Ahli.” Mereka bertanggung jawab penuh untuk menguasai satu bagian dan mengajarkannya kepada teman sekelompok (kelompok asal). Saya memberikan kebebasan dalam cara mereka mempresentasikan temuan (misalnya, membuat video pendek, mini role play, atau infografis).
Pembagian kelompok selain berdasarkan hasil asesmen kognitif, juga berdasarkan tempat tinggal mereka. Tentu ini menggembirakan karena mereka dapat mencari berbagai informasi secara langsung kepada masyarakat sekitar, selain dari sumber yang sudah saya sediakan.
Dampaknya, kelas berubah menjadi ruang kolaborasi yang dinamis. Tawa dan diskusi aktif terdengar ketika para “Ahli” menjelaskan. Murid yang awalnya pasif menjadi lebih percaya diri karena mereka memiliki pengetahuan eksklusif untuk dibagikan. Suasana belajar yang positif, menantang, dan penuh penghargaan ini benar-benar memicu motivasi intrinsik mereka terhadap materi budaya.
C. Refleksi dan Hasil
Penerapan Pembelajaran Mendalam ini menghasilkan dampak yang signifikan:
- Peningkatan Pemahaman Kritis: Murid tidak hanya tahu langkah-langkah Upacara Labuhan Merapi, Upacara Saparan Ki Ageng Wanalela, Upacara Saparan Bekakak, dan Grebeg Mulud, tetapi mereka mampu membandingkan nilai-nilai dan filosofi yang mendasarinya (kesamaan konsep bersyukur pada Tuhan, gotong royong, berbagi, dan menjaga hubungan baik dengan alam ).
- Tumbuhnya Rasa Kepemilikan: Murid kini memandang Upacara Adat bukan sebagai materi pelajaran, tetapi sebagai identitas yang harus dipahami dan dijaga (Berkesadaran).
- Kelas Hidup dan Berenergi: Proses belajar menjadi pengalaman yang dinanti-nanti karena metode yang kolaboratif dan menantang (Menggembirakan).
Praktik baik ini membuktikan bahwa dengan menggeser fokus dari “transfer konten” menjadi “penyelaman makna” melalui prinsip Berkesadaran, Bermakna, dan Menggembirakan, kita dapat mengubah materi yang dianggap membosankan menjadi jembatan kuat bagi murid untuk terhubung dengan akar budaya dan mempersiapkan mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat.


